Boleh kukatakan malam ini adalah malam yang menyenangkan. Ada kebahagiaan ketika sajakku terpilih sebagai pemenang buku Aku dan Hujan oleh modearator @Syair_pagi (- ah, siapapun engkau, aku berterima kasih padamu). Aku tak menyangka, karena sajak-sajak yang masuk banyak sekali, dan semuanya bagus-bagus. Bahkan aku merasa terinspirasi membacanya.
Jujur, ketika menulisnya, aku tak tahu kalau @Syair_pagi sedang mengadakan sayembara, aku sekadar ikut-ikutan. Dan ketika namaku disebut, aku baru tahu ternyata sajak tersebut memenangkan hadiah buku! Benar-benar di luar dugaan! Padahal waktu itu aku spontan menulisnya (meski sempat membuat coretan di kertas sebelum diserahkan ke moderator)
Sajak yang kutulis berjudul HUJAN. Sebenarnya merupakan cerminan kegundahanku dengan Yang Ada — tentang bagaimana aku hidup di dunia ini. Benarkah aku ini jiwa yang nyata, dan bukan sekadar produk mimpi? Terkadang hal-hal semacam itu mengganggu pikiranku. Itulah sebabnya aku banyak menulis sajak-sajak serupa. Nanti aku tulis sajaknya di sini 🙂
Ada satu lagi yang istimewa dari sajak HUJAN. Inilah sajak pertamaku yang menghasilkan! Berkali aku mengirim sajak ke majalah dan koran, tapi belum ada satu pun yang dimuat. Kalau tak salah sejak tujuh tahun lalu aku aktif mengirimkan karya ke berbagai media, yang ketika kubaca lagi, aku bisa tertawa sendiri. Akhirnya pencapaian terbesarku adalah dimuatnya sajak-sajakku di mading sekolah. Itu pun karena aku sendiri yang menyusunnya (— ditimpuk sedunia)
Berikut sajak HUJAN yang kutulis waktu itu. Kusampaikan tanpa pembenahan — versi dengan pembenahan akan aku posting di pertemuan selanjutnya :-).
_@_
HUJAN
Sementara pagi terjaga dalam sebuah tanya, lantas dengan apa harus kuterjemahkan rindu yang datang tanpa tanda-tanda.
Hujan menghablur dalam sekali pukul, tiba-tiba angin beranjak pergi dan kembali, dan memporak-porandakan ingatan, kenangan
Gemeretak kaca semakin kencang seiring deru penghujan, membuatku gemetar membayangkan seperti apa kematian.
Apatah mungkin rasanya sama seperti sebuah kecupan yang coba kau panjatkan bersama doa-doa, sebelum kita meregang nyawa.
Hujan semakin deras dan cangkir di atas meja bergetar-getar seiring gemuruh, aku tak bisa melihat bayangan di cermin.
Mendadak langit menjadi atap rumahku, genting-genting terbang entah kemana, duniaku hilang entah kemana, kau masih tak ada.
Aku terhuyung-huyung menegak hujan dalam sekali minum, mabuk dalam kenangan yang tak dapat kita lupakan, kenangan bahagia.
Dalam keadaan tak tentu, kucari-cari engkau, kucari-cari, kucari dalam gemuruh doa, sampai kutemukan pada ketiadaan dunia.
Lantas semua hilang, tak ada pagi, tak ada hujan, tak ada awan, tak ada tanah, tak ada, tak lagi ada, tempatku berpijak.
Semua lesap ketika kau terjaga dan melupakan mimpi panjangmu, aku tiada, sebab aku tak lebih dari sebuah khayal di matamu.
Maret 2011
Sekali lagi, terima kasih moderator @Syair_pagi. Penghargaan ini benar-benar luar biasa 🙂